#Hizbut Tahrir Indonesia
Explore tagged Tumblr posts
Note
Mas bisa tolong jelaskan Aswaja itu yang bagaimana dan HTI itu yang bagaimana, NU juga seperti apa? Soalnya kurangnya pengetahuan tentang aqidah menjadikan banyak generasi yang akhirnya hanya menjadi pembebek tanpa tahu perbedaan dari NU,Aswaja,sama HTI. Terimakasih, mohon penerangannya.
"Aswaja" itu terminologi golongan yang merujuk kepada "ahlus sunnah" yaitu mereka yang menisbatkan diri sebagai golongan Rasulullah ﷺ. Mereka yang mengikuti mazhab-mazhab utama dalam Islam dan mempraktikkannya. Penisbatan ini dirasa penting untuk membedakan dengan mereka yang sekadar mengklaim sebagai pengikut Rasulullah ﷺ tapi tidak mengikuti jalannya.
Tapi perlu dipahami bahwa terminologi ini tidaklah spesifik untuk kelompok tertentu. Mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ juga dikategorikan masuk ke dalam "Aswaja". Hanya sekarang di Indonesia term ini menjadi lebih sempit dan digunakan oleh ormas tertentu untuk menciptakan jarak dengan kelompok Islam lain.
HTI itu Hizbut Tahrir Indonesia, cabang dari Hizbut Tahrir. Mereka adalah gerakan pembebasan yang berfokus pada pendirian khilafah. Secara mazhab mereka juga termasuk "Aswaja". Yang membedakan adalah pola gerakan mereka politis dan fokus pada pemikiran. Mereka gerakan global yang berpaham Pan-Islamisme (persatuan Islam). Sementara NU itu ormas atau gerakan sosial kemasyarakat yang bersifat domestik, hanya ada di Indonesia dan diikuti oleh WNI saja. NU bukan mazhab dan gerakan tidak global karena pahamnya juga sangat lokal.
Secara garis besar tidak ada yang perlu dipertentangkan antara kedua entitas ini. Belakangan memang muncul permusuhan terhadap HTI lebih disebabkan faktor politik dan beberapa kelompok merasa terancam eksistensinya. Padahal HTI menyerukan kepada Islam meski dengan cara yang berbeda. Apakah perbedaan ini justru menciptakan kebencian di kalangan umat Islam? Jika iya, cara berislamnya keliru. Berpecah-belah itu bukan jalan Rasul ﷺ. Mengaku sebagai "Aswaja" tapi merasa hanya kelompoknya saja yang benar ini justru merusak bangunan umat.
36 notes
·
View notes
Photo
*HTI DAN FPI KORBAN REZIM?* https://youtu.be/8gh--cg0fxQ https://youtu.be/8gh--cg0fxQ https://youtu.be/8gh--cg0fxQ Melalui kanal Youtube miliknya yang tayang Kamis (27/1/2023), Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun, mengaku setuju dengan pendapat pengacara Gus Nur Sugi dan Bambang Tri, Ahmad Khozinudin yang menyebut bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) adalah korban dari rezim saat ini. Apakah kebijakan pemerintah kepada HTI dan FPI tidak tepat? 🎙️Simak analisis berikut: https://youtu.be/8gh--cg0fxQ Yuk Subscribe Channel JUSTICE MONITOR untuk mendapat up date analisis terbaru. https://www.instagram.com/p/Cn9TTwHp9zu/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Text
Pertemuanku Dengan HTI
Sedari remaja dulu, aku sudah diperkenalkan oleh kakak perempuanku masuk ke perkumpulan pengajian atau Halaqah. Mulai dari sekolah menengah pertama di Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma) ITB dan hanya bertahan satu semester. Kemudian menginjak sekolah menengah kejuruan, aku mulai diperkenalkan oleh kakakku dengan organisasi islam yakni Hizbut Tahrir.
Pada saat itu masa remajaku memang penuh dengan banyak masalah, terutama saat aku menghadapi masa-masa transisi dimana ada banyak sekali perubahan yang terjadi baik dari segi perilaku, pola pikir dan beberapa perubahan lainnya yang tak bisa aku jelaskan di tulisan ini. Karena hal itulah kakak perempuanku yang merupakan salah satu aktifis HTI memberikan saran untuk mencoba mengkaji lebih dalam tentang hakikat diri dengan lebih mendalami ilmu-ilmu dasar kehidupan sebagai seorang muslim berdasarkan mahzab mereka.
Baca juga tulisan ini : Imagined Communities (Sebuah Catatanku Tentang Kedatangan Raja Salman)
Aku pun mulai melakukan semacam liqa atau pertemuan rutinan secara privat dengan salah satu ikhwan HTI. Pertemuan secara privat ini diyakini mereka sebagai masa awal pengenalan diri secara pribadi baik mentor dengan mente sehingga mentor dapat meninjau, mengevaluasi sang mente apakah siap atau tidak terjun langsung ke medan dakwah bersama para aktifis lainnya.
Sang mentor ini nantinya akan menjelaskan secara introgatif tentang hakikat penciptaan manusia, tujuan manusia hidup di dunia, dan akan kemana setelah kematian. Selain itu dijelaskan pula secara deskriftif tentang naluri manusia yakni naluri mengagungkan sesuatu, mempertahankan diri dan naluri biologis. Setelah itu baru masuk ke ghazwul fikri atau perang pemikiran yang menjadi “main core” atau tujuan inti organisasi mereka tentang isu demokrasi, komunisme, sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.
Selama aku mengkaji bersama mereka memang tidak ada satu pun dari organisasi mereka sesuatu yang janggal, para aktifis dan kadernya memang cukup solid, terbina dengan cukup baik. Karena berkat ilmu yang kudapat dari merekalah, membuka cakrawala berpikirku hingga sejauh ini. Memang butuh waktu untuk bisa memahami jalan pemikiran mereka, bagi yang memiliki dasar ilmu agama yang cukup serta kecerdasan yang baik tentu mudah jalan masuk menjadi salah satu aktifis organisasi mereka, lalu bagaimana dengan orang awam sepertiku yang tidak memiliki dasar ilmu agama yang baik? ditambah lagi kemampuanku dalam mengolah informasi dirasa masih kurang mumpuni, tentu tidaklah semudah itu.
Baca juga tulisan ini : Pengalamanku Sebagai Seorang Disleksia
Setelah beberapa bulan pemikiranku digembleng oleh mereka, tahap selanjutnya adalah masuk ke “Life style” atau gaya hidup seorang muslim berdasarkan mahzab mereka. Disinilah letak masalahnya, sekilas secara tekstual memang betul hadisnya shahih, tapi jika secara kontekstual sepertinya sulit diterapkan untuk aku pribadi. Musik, film, filsafat, serta pemikiran-pemikiran para filsuf barat dan timur bagi mereka adalah sebuah pantangan, sedangkan bagiku adalah salah satu cara memperkaya khazanah keilmuanku sebagai jalan pendekatan diri kehadirat Illahi.
Baca juga tulisan ini : The Pursuit of Happiness Through Career
Pada liqa terakhir dengan mentorku, aku dipertemukan oleh beberapa ikhwan-ikhwan lainnya di sebuah acara ceramah umum. Setelah sesi ceramah selesai, di sebuah pendopo mesjid aku diberikan pertanyaan oleh salah satu ikhwan yang membuatku cukup mengernyitkan dahi, Inti pertanyaannya adalah apa perbedaan HTI dengan organisasi islam lainnya, beserta kekurangan dan kelebihannya. Akhirnya karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, aku hanya bisa menjawab ala kadarnya. Saat itu aku pun menyadari bahwa ternyata aku bukanlah orang yang tepat berada dibarisan dakwah mereka. Apa yang aku pahami dan yakini tidak sejalan dengan frame berpikir mereka, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa mentor. Aku membiarkan insting yang ada dalam jiwaku yang menuntunku menelusuri jalan setapak menuju keagungan Rabbku.(Bandung, 2003)
Baca juga tulisan ini : 10 Malam Untuk Selamanya
Walaupun aku sudah tidak pernah lagi melakukan kajian rutinan bersama mereka, hingga kini bekas-bekas doktrin mereka masih hinggap dibenakku. Bagiku dari beberapa ormas-ormas islam lainnya, HTI lah yang menurutku konsisten berdakwah di jalan non-politik, disamping itu aku suka dengan beberapa ustad-ustad-nya, contohnya ust. Hari Moekti(mantan roker era 90an, lihat disini), Felix Shiau (Mantan ateis, lihat disini), Ust. Taufik (pengisi ceramah di salah satu radio di bandung). Mereka itu yang disebutkan tadi adalah para penceramah yang mempunyai jam terbang tinggi, tapi tidak suka main tarif maupun minta fasilitas tertentu. Pak Hari Moekti pernah mengisi ceramah di salah satu mesjid dekat rumahku di bandung, yang membuatku takjub dan terharu adalah pernah pada suatu acara, beliau menginfakkan amplop pemberian panitia ke mesjid, Subhanallah. Itulah kenapa organisasi ini berkembang cukup masif karena para kader-kadernya sangat loyal dan membumi.
Baca juga tulisan ini : Binary Narrative
Pada intinya, kesanku terhadap organisasi ini adalah positif terlepas dengan pro kontra yang menyeruak se nusantara. Di dalam ukhuwah islamiyah yang aku pahami bahwa satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara terlepas itu berbeda mahzab, pemahaman, pola pikir, selama dia meyakini Rabb itu Allah yg Esa, dan Muhammad SAW adalah Rasul terakhir, tidak perlu kita saling menyakiti, jika ada yang kurang tepat dari dakwah mereka ataupun salah satu kadernya, mohon bangunlah opini yang konstruktif, karena hakikat manusia adalah tak bisa lepas dari segala kekhilafan.
Baca juga tulisan ini : Hanya Cinta Yang Menyatukan Kami
Aku tidak mengatakan bahwa mahzab mereka buruk, sesat atau salah, tidak sama sekali, yang salah adalah individu yakni diriku sendiri yang tak mampu menjalani kehidupan sebagai seorang muslim yang baik, entah dengan mahzab mereka, atau mahzab lainnya, aku seorang muslim yang cacat dan masih perlu di terapi ruhiyahnya, that’s why aku lebih suka pendekatan spiritual ke arah sufisme atau tasawuf.
Baca juga tulisan ini : Kekosongan Jiwa Abad 21 (bag.1)
Soal pemberitaan yang beredar di masyarakat terkait pembubaran HTI karena bertentangan dengan pancasila menurutku konyol dan tidak masuk akal, kalau memang tidak sepaham dengan pancasila, kenapa baru sekarang diperkarakan? bukannya dari dulu ketika megawati atau SBY berkuasa. Bukankah sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa? Memangnya mereka tidak bertuhan kah?. Mereka memang menolak demokrasi, menolak pancasila, tapi diantara orang-orang yang mengaku demokratis, pancasilais, bagiku justru merekalah orang-orang yang sangat demokratis dan pancasilais, but they just don’t realize it. (Jakarta, 2017)
Wallahu'alam
to be continued
Foto : Flickr.com
#literasi#Pertemuanku Dengan HTI#HTI#hizbut tahrir#hizbut tahrir indonesia#HT#ghazwul fikri#perang pemikiran#sekulerisme#liberalisme#komunisme#demokrasi dalam islam#demokrasi menurut pandangan HTI#filsafat menurut HTI#perbedaan HTI dengan ormas islam lainnya#perbedaan HTI#pembubaran HTI#felix siauw#hari moekti
1 note
·
View note
Text
Pengusung Khilafah Ala Hizbut Tahrir Hanya Bualan dan Ilusi Kaum Khilaf
Pengusung Khilafah Ala Hizbut Tahrir Hanya Bualan dan Ilusi Kaum Khilaf
Penulis : Ken Setiawan Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan bahwa para pengusung khilafah telah terjebak pada romantisme sejarah, mereka menjadikan doktrin khilafah sebagai solusi satu-satunya dalam merespons modernitas. Mereka bermimpi jika khilafah tegak di Indonesia maka akan tercipta kondisi aman dan kondusif, pendidikan dan kesehatan gratis, tidak ada…
View On WordPress
0 notes
Text
Islam, heteronormativity, and lesbian lives in Indonesia
Selections from Heteronormativity, Passionate Aesthetics and Symbolic Subversion in Asia by Saskia Wieringa, 2015.
These passages discuss some general social developments related to sexuality and gender in Indonesia, and then describe stories from different (mostly lesbian) narrators. They also touch on the creation of a religious school for waria (trans women), and include two trans men narrators, one of whom talks about his struggle to get sex reassignment surgery in the 70s. I also included a story from a divorced woman whose sexuality was questioned when her husband complained that she couldn’t sexually please him. Accusations of lesbianism can be directed toward any woman as a method for managing her sexuality/gender and prodding her into compliance with expectations of sexual availability.
In spite of protests by religious right-wing leaders, Islam does not have a single source of its so-called 'Islamic tradition'. There are many different interpretations and, apart from the Quran, many sources are contested. Even the Quran has abundant interpretations. Feminist Muslim writers, such as Fatima Mernissi (1985), Riffat Hassan (1987), and Musdah Mulia (2004 and 2012), locate their interpretations in the primary source of Islam--the Quran. According to those readings, sexuality is seen in an affirmative, positive light, being generally described as a sign of God's mercy and generosity toward humanity, characterised by such valued qualities as tranquillity, love, and beauty. The California-based Muslim scholar Amina Wadud (1999) describes the jalal (masculine) and jamal (feminine) attributes of Allah as a manifestation of sacred unity. She maintains that Allah's jamal qualities are associated with beauty that, although originally evaluated as being at the same level as Allah's masculine qualities that are associated with majesty, have en subsumed in the 14 centuries since the Quran was revealed.
The Quran gives rise to multiple interpretations. Verse 30:21 is one of my favorites:
“And among Allah's signs is this. That Allah created for you spouses from among yourselves, that you may dwell in tranquillity whit them, and Allah has put love and mercy between your [hearts]: verily in that there are signs for those who reflect.”[2]
The verse is commonly used in marriage celebrations, and I also used it in my same-sex marriage ritual. It mentions the gender-neutral term 'spouse,' which leaves room for the interpretation that same-sex partners are included.
Indonesian waria (transwomen) derive hope from such texts. In 2008, Maryani, a well-respected waria, opened a pesantren (traditional Islamic religious school) for waria, named Al-Fatah, at her house in Yogyakarta. After her death in March 2014, it was temporarily closed, but fortunately soon reopened in nearby Kotagede. A sexual-rights activist, Shinta Ratri, opened her house to waria santri (santri are strict believers, linked to religious schools) so they could continue to receive religious education. At the official opening, Muslim scholar Abdul Muhaimin of the Faithful People Brotherhood Forum reminded the audience that, as everyone was made by God: "Everyone has the right to observe their religion in their own way...", and added: "I hoped the students here are strong, as they must face stigma in society."[3]
Prior to her death (after she had made the haj),[4] Maryani herself, a deeply-religious person, said: "Here we teach our friends to worship God. People who worship are seeking paradise, this is not limited to our sex or our clothing..."[5] So far, hers is the only waria pesantren in Indonesia, perhaps even globally, and may be due to the fact that Maryani was an exceptionally strong person who spoke at many human-rights meetings. In October 2010, I also interviewed her and was struck by her warm personality, courage, and clear views.
In spite of those progressive readings of the Quran, women's sexuality is interpreted in light of their servility to men in practice, and has been linked to men's honour rather than women's pleasure. Although marriage is not viewed as too sacred to be broken in Indonesia, it is regarded as a religious obligation by all. An unmarried woman over the age of 20 is considered to be a perawan tua ('old virgin'), and is confronted by a continuous barrage of questions as to when she will marry.
Muslim (and Christian) conservative leaders consider homosexuality to be a sin. Women in same-sex relations find themselves in a difficult corner, as exclusion from their religion is a heavy burden. Some simply pray at home, privately hoping that their God will forgive them and trusting in the compassion taught by their holy books. However, outside their private space, religious teachers and society at large denounce their lives as sinful and accuse them of having no religion.
Recent Indonesia legislation strengthens the conservative, heteronormative interpretations of Islam. Apart from the 2008 anti-pornography law (discussed below), a new health law was adopted that further tightened conservative Islam's grip on women's reproductive rights and marginalised non-heteronormative women. That 2009 health bill replaced the law of 1992, which had no chapter on reproductive health. The new law states that a healthy, reproductive, and sexual life may only be enjoyed with a 'lawful partner' and only without 'violating religious values'--which means that all of our narrators would be banned from enjoying healthy, sexual, and reproductive lives.[6]
Conservative statements are also made by women themselves; for example, members of the hard-line Islamic group Hizbut Tahrir, who not only want to restrict reproductive services (such as family planning) to lawfully-wedded heterosexual couples but also see population control as a 'weapon of the West' to weaken the country.[7] They propose to save Indonesia by the imposition of sharia laws. Hard-line Islamic interpretations are widely propagated and creep into the legal system, thus strengthening heteronormativity and further expelling non-normative others.
Yet strong feminist voices are also heard in Indonesia's Muslim circles. Even in a relation to one of the most controversial issues in Islam--homosexuality--a positive, feminist interpretation is possible. Indonesia's prominent feminist Muslim scholar, Siti Musdah Mulia, explains that homosexuality is a natural phenomenon as it was created by Allah, and thus allowed by Islam. The prohibition, however, is the work of fallible interpretations by religion scholars.[8] In her 2011 paper on sexual rights, Mulia bases herself on certain Indonesian traditions that honour transgender people, referring to bissu in south Sulawesi, and warok[9] in the reog dance form in Ponorogo. In those cases, transgender is linked to sacred powers and fertility. She stresses that the story of Lot, always cited as evidence of Quranic condemnation of homosexuality, is actually concerned with sexual violence--the people of Sodom were not the only ones faced with God's wrath, as the people of Gomorrah were also severely chastised even though there is no indication that they engaged in same-sex behaviour. Nor is there any hint of same-sex behaviour in relationship to Lot's poor wife, who was transformed into a pillar of salt. Mulia advances a humanistic interpretation of the Quran that stresses the principles of justice, equity, human dignity, love, and compassion (2011: 7). Her conclusion is that not Islam itself but rather its heterosexist and patriarchal interpretation leads to discrimination.
After the political liberalisation (Reformasi) of 1998, conservative religious groups (which had been banned at the height of the repressive New-Order regime) increased their influence. The dakwah ('spreading of Islam') movement, which grew from small Islamist usroh (cell, family) groups and aimed to turn Indonesia into a Muslim state, gathered momentum.[10] Islamist parties, such as the Partai Kesejahteraan Sosial (PKS), or Social Justice Party, gained wide popularity, although that was not translated into a large number of seats in the national parliament (Hefner 2012; Katjasungkana 2012). In the early Reformasi years, official discourse on women was based on women's rights, taking the 1995 Beijing Platform for Action as its guide, but recent discourse on an Islamic-family model--the so-called keluarga sakinah ('the happy family')--has become dominant in government circles (Wieringa 2015, forthcoming). The growing Islamist emphasis on a heteronormative family model, coupled with homophobia, is spreading in society. During KAN's [Kartini Asia Network for Gender and Women's Studies in Asia] September 2006 TOT [Training of Trainers] course in Jakarta, the following conversation was recorded:
“Farida: Religious teachers go on and on about homosexuality. They keep shouting that it is a very grave sin and that people will go straight to hell. My daughter is in the fifth form of primary school. She has a best friend and the two were inseparable. But the teachers managed to set them apart, as they were considered to be too close. The mother of my daughter's friend came to me crying; she was warned that she had to be careful with her child, or else she might get a daughter who was different. And now the new school regulations stress that a woman must wear the jilbab [headscarf].[11] This has put a lot of stress on tomboyish girls. They cannot wear the clothes they are comfortable with any more. Zeinab: When we were taught fiqih [Islamic law], we never discussed homosexuality. When we studied the issue of zinah [adultery], one of our group asked: "But how about a woman committing zinah with another woman, or a man with another man?" Our teacher just shook is head and muttered that that was not a good thing. The only story we learnt was about the prophet Luth [Lot]. But when we went to study the hadith [Islamic oral law], we found the prophet had a very close friend, Abu Harairah, who never married, while all men were always showing off their wives. There were some indications that he might have had a male lover. Yet the prophet is not known to have warned him. So, while the mainstream interpretation of Islam is that they condemn homosexuality, there are also other traditions that seem to be more tolerant, even from the life of the prophet himself.”
The above fragment shows how fundamentalist practices creep into every nook and cranny of Indonesian people's lives--the growing suspicion toward tomboys, forcible separation of close school friends, and enforcement of Muslim dress codes. But we also see a counter-protest arising. At the TOT training course, the women activists realised that patriarchal interpretations of religion had severely undermined women's space, and started looking for alternative interpretations, such as the story of the prophet's unmarried friend.
However, for many of our narrators, religion is a troubling issue. Putri, for instance, does not even want to discuss the rights of gays and lesbians in Indonesia; she thinks the future looks gloomy, with religious fundamentalism on the rise, and her dream of equal rights is buried by the increasing militancy of religious fanatics. [...]
Women-loving women
Religion is a sensitive aspect of the lives of our women-loving-women narrators, who are from world religions that, although propagating love and compassion in their distinct ways, interpret same-sex love negatively. In some cases, our narrators are able to look beyond the patriarchal interpretations of their religions, which preach hatred for what are emotions of great beauty and satisfaction to them, while others are devastated by guilt and shame. [...]
Indonesian male-identified Lee wonders why "people cannot see us as God's creatures?" but fears that Islam will never accept homosexuality. He knows the story of the prophet Lot, and how the city of Sodom was destroyed by God as a warning so others would not commit the sin of sodomy. Lee was raised as a good Muslim, and tries to follow what he has been taught are God's orders. For some time, he wore a man's outfit for praying.[16] At that time, he thought that religious duties--if conducted sincerely--were more important than his appearance but, after listening to some religious preachers, he felt that it was not right to wear men's clothing: "Sometimes I think it is not right, lying to myself, pretending to be someone else. We cannot lie to God, right? Even if I try to hide it, definitely God knows." So, after attending religious classes, he decided to wear the woman's outfit--the mukena--when praying at home.
Lia grew up in a strict Muslim family. When she pronounced herself to be a lesbian, it came as a shock to her relatives, who invoked the power of religion to cure her. When her mother went on the haj, she brought 'Zamzam water' from Mecca. The miraculous healing powers of the liquid from Mecca's Zamzam well were supposed to bring Lia back to the normal path. Dutifully, Lia drank from it and jokingly exclaimed: "Ah, my God, only now I realise how handsome Delon is!"[17] Yet she found succor in her religion when she went through a crisis in her relationship with Santi:
"When Santi hated me very much and avoided me, I prayed: "God, if it is true that you give me a guiding light, please give me a sign. But if it is a sin...please help me..." Was my relationship with Santi blessed or not? If it wasn't, surely God would have blocked the way, and if it way, would God broaden my path? As, after praying so hard, Santi and I became closer, God must have endorsed it. Does God listen to my prayer, or does God test me?"
So, even though she got together again with Santi after that fervent bout of praying, uncertainty gnaws at Lia, who realises that mainstream Islamic preachers prohibit homosexuality. Ideally, she feels that a person's religion must support people, but Islam does not do that because she is made to feel like a sinner. But, she says, the basic principle that Islam teaches is to love others. As long as she does that, Lia sees nothing wrong in herself as one of God's creatures. She realises that, particularly in the interpretation of the hadith (Islamic oral tradition), all manner of distortions have entered Islamic values, and wonders what was originally taught about homosexuality in Islam. She is aware that many Quranic texts about the status of women were manipulated in order to marginalise them, and avidly follows debates on feminist interpretations that stress that the real message of the Quran does not preach women's subordination.
Lia knows that there are lesbians in the pesantren who carry out religious obligations, such as praying and doing good deeds. If someone has been a lesbian for so long that it feels like natural character, and has been praying and fasting for many years, they cannot change into a heterosexual, she decided.
Religious values are also deeply inculcated in Sandy, who is tortured by guilt and shame about her lesbian desires. Although masculine in appearance and behaviour, she wears the mukena while praying both at home and at the mushola (small mosque) that she frequents. Since she was 23, when her mother died, she realised that what she did with her lover, Mira, was a sin and started reading religious books to discover what they said about people like her. She accepted the traditional interpretation of the story of Lot and the destruction of Sodom. When she was 25 years old, Mira left her to marry a man. Sandy was broken hearted and considered suicide. In that period of great distress, she realised that God prohibits suicide and just wanted her to give up her sinful life. She struggled hard against her desires for women and the masculinity in her:
"If I walk with women, I feel like a man; that I have to protect them. I feel that I am stronger than other women. But I also feel that I am a woman, I am sure that I am a woman, that is why I feel that I am different from others. I accept my own condition as an illness, not as my destiny. ... Yes, an illness, because we follow our lust. It we try to contain our lust, as religion teaches us, we would never be like this. So I try to stay close to God. I do my prayers, and a lot of zikir.[18] I even try to do tahajjud.[19]"
Sandy believes in the hereafter and does not want to spoil her chances of eternal bliss by engaging in something so clearly disproved of by religion, although she has not found any clear prohibitions against lesbianism in either the Quran or hadith.
Bhima, who considers himself to be a secular person, was brought up in a Muslim family. His identity card states that he is a Muslim, which got him into serious trouble when he went for his first sex-change operation at the end of the 1970s. He went through the necessary tests but the doctors hesitated when they looked at his ID, fearing the wrath of conservative clerics. Bhima was desperate:
"Listen, I have come this far! I have saved up for this, sold my car, relatives have contributed, how can you do this to me? Tell me what other religion I should take up and I will immediately get my identity card changed. I have never even been inside a mosque. I don't care about any institutionalised religion!"
The doctors did not heed his plea, instead advising him to get a letter of recommendation from a noted Muslim scholar. Undaunted, Bhima made an appointment with a progressive female psychologist who had been trained in Egypt and often gave liberal advice on Muslim issues on the radio. He managed to persuade her to write a letter of introduction to the well-known Muslim scholar Professor Hamka. Letter in hand, Bhima presented himself at the gate of Hamka's house, and was let in by the great scholar himself. Bhima pleaded his case, upon which Hamka opened the Quran and pointed to a passage that read "when you are ill, you must make all attempts to heal yourself":
"Are you ill?" Hamka asked. Bhima nodded vehemently. "Fine, so then tell them that the Quran advises to heal your illness." "It is better, sir," Bhima suggested, "that you write that down for them."
With that letter, Bhima had no problem to be accepted for the first operation, in which his breasts were removed.
Widows [...] In Eliana's case religion played an important role in her marriage--and subsequent divorce. While still at school, she had joined an usroh group (created to teach students about religious and social issues in the days of the Suharto dictatorship). Proper sexual behaviour played an important role in their teachings. According to usroh, a wife must be sexually subservient to her husband and accept all his wishes, even if they involve him taking a second wife. Eliana felt close to her spiritual leader and tried to sexually behave as a good Muslim wife would. She forced herself to give in to all her husband's sexual wishes, including blow jobs and watching pornography with him. Yet the leader blamed Eliana for not doing enough to please her husband, saying that is why he needed a second wife. Her teacher even asked if she was a lesbian, because she could not satisfy her husband. As both her spiritual leader and husband agreed that it was not nice for a man to have an intellectually-superior woman, she played down her intelligence. Eventually she divorced her husband.
Internalised lesbophobia and conservative-religious (in this case, Muslim) norms prevented Jenar for enjoying the short lesbian relationship that she had between her two marriages. It is interesting how she phrases the conversation, starting on the topic by emphasising how much she distrusted men after her divorce (because her husband did not financially provide for their family). The relationship with her woman lover was not long underway, and had not advanced beyond kissing, but she immediately felt that, according to religion, what she did was laknat (cursed). Anyway, she added, she was a 'normal,' heterosexual woman and did not feel much aroused when they were touching. A middle-aged, male friend added to her feeling of discomfort by emphasising that she would be cursed by God if it would continue. He then took her to a dukun (shaman), where she was bathed with flowers at midnight in order to cure her. That was apparently successful, for she gave the relationship up. However, even though she had stressed that she was 'normal' and did not respond sexually to her lover's advances, she ended the conversation by saying that she felt lesbianism was a 'contagious disease'. That remark stresses her own internalised homophobia but also emphasises her helplessness and lack of agency--contagion is something that cannot be avoided. It also hints at the strength of the pull she felt for a contagion that apparently could not be easily ignored. The important role of the dukun indicates that she follows the syncretist stream of Islam, mixed with elements of the pre-Islamic Javanese religion--Kejawen. [...]
Women in same-sex relationships [...]
As in India, the human-women's-lesbian-rights discourse is gaining momentum in Indonesia. It could only develop after 1998, when the country's dictator was finally forced to resign and a new climate of political openness was created. The new sexual-rights organisations not only opened a public space to discuss women's and sexual rights but also impacted on the behaviour of individuals within their organisations (as discussed in more detail in chapter 9). Before Lee joined a lesbian-rights group, he had decided to undergo sex-reassignment therapy (SRT) to physically become a man as much as possible. Activists warned him of the operations' health risks and asked whether he really needed such a change in order to live with his spouse. Lee feels secure within the group, and is happy to find like-minded people with whom he can share many of his concerns. Lee actively sought them out after reading a newspaper article about a gay male activist: he tracked him down at his workplace and obtained the address of the lesbian group. Lee is less afraid of what will happen when their neighborhood find out that Lee's body is female--as he says: "I have done nothing wrong, I haven't disturbed anyone, I have never asked anyone for food." However, Lee is worried about the media, where gay men and lesbian women are often represented as the sources of disease and disaster.
Lia had no idea what a lesbian was when she first fell in love with a woman. There were many tomboys like her playing in the school's softball team, and she once spotted a female couple in another school's softball team. Her relationship with Santi developed without, as Lia says, any guidance of previous information. Only at college in Yogyakarta did she start reading about homosexuality on the internet. Through the Suara Srikandi portal (one of the first lesbian groups in Jakarta), she came to know of other Indonesian lesbians. Another website that she frequently visited was the Indonesian Lesbian Forum, and one of her lecturers introduced her to the gay and lesbian movement in her city. In 2004, she publicly came out at a press conference. She first joined the KPI, which has an interest group of sexual minorities, but found the attitude of her feminist friends to be unsupportive and decided to join a lesbian-only group. The women activists only wanted to discuss the public role of women and domestic violence, and told her that lesbianism was a disease and a sin.
Lia wants to broaden the lesbian movement. She feels the movement is good in theory but lacking in practice--particularly in creating alliances with other suppressed groups, such as farmers and labourers. In focusing only on lesbians, not on discrimination and marginalisation itself, she asserts that it has become too exclusive. By socialising with other movements, she argues, they will better understand lesbian issues, and, in turn, that will help the lesbian movement. It is true, she concedes, that lesbians are stigmatised by all groups in society but, since 1998 (the fall of General Suharto), the country has seen a process of democratisation. "We must take up that opportunity and not be scared of stigma," she exhorts her friends in the lesbian movement. Lia herself joined a small, radical political party, the PRD,[33] and faced stigma ("we have a lesbian comrade; that's a sin, isn't it?"), but feels that she has ultimately been welcomed. Now, her major problem is to find the finances to conduct her activism. At the time of the interview, she had lost her job and could not find the means to print handouts for her PRD comrades.
Lia is a brave forerunner. At the time of the interview, her lesbian friends were too scared to follow in her footsteps and told her that she was only dreaming. However, her heterosexual friends (in the labour movement) said that they were bored with her, and found her insistence of a connection between the struggle for sexual and labour rights to be too pushy.
Lia dreams of equal rights for lesbians. First, she would like to see a gay-marriage law implemented in Indonesia, which would ensure that the property rights of surviving spouses are protected in case one passes away. She also would like to set up a shelter for lesbians, as she knows many young lesbians who have been thrown out of their family homes and are in need of support.
Sandy is rather hesitant about the rights she would like to see introduced to Indonesian society. Most of all, she wants to be accepted as a normal human being, where no one says bad things about or harasses lesbians like her. What women do in the privacy of their bedrooms is one thing. Women should have the right to have sex, for it comes straight from the heart--it is pure love. But, in public, their behavior should be impeccable: no kissing, no hugging, no holding of hands. However, Sandy thinks that marriage rights for lesbians will not happen in Indonesia, and are only possible in Christian countries. But, minimally, she hopes to lead a life without discrimination or violence:
"If they see us as normal, they won't bother us. We are human, but if we act provocatively then it is ok for them to even hang us ... [I just hope they] won't harass us, or humiliate us. That is all I ask, that if we are being humiliated there is a law to prevent it. That a person like me is protected. To be laughed at is okay, but it is too much if they throw stones at us and if we are not allowed to work."
Sex workers want the right to work without being harassed, and women in same-sex relationships want to be treated like 'normal' human beings and enjoy socio-sexual rights, such as health benefits or the right to buy joint property. Yet the state does not provide those rights and does not protect its citizens in equal measure. As a major agent of heteronormativity, it restricts its benefits and protection to those within its margins. Couples with social stigma and conservative-religious interpretations, some of our narrators have reached deep levels of depression.
37 notes
·
View notes
Text
Gus Mus: "Wahai rakyat Indonesia, waspadalah. Dengan menebar virus kebencian, setan telah terbukti berhasil memorak-porandakan negeri-negeri di Timur Tengah".
#temanjenius #nkrihargamati #indonesia
#khilafah#hti#hizbut tahrir#jihaf#jihad#fanatik#radikal#radikalisme#fanatisme#islam#muslim#quotes#gus mus#gusmus#toleransi#nkri#indonesia
0 notes
Text
Pemberian Sanksi Mantan FPI dan HTI: Pada ASN
Pemberian Sanksi Mantan FPI dan HTI
Aspirasiproletar.com-Pemberian sanksi mantan FPI dan HTI, pemberian sanksi tersebut dibuat sebagai bentuk dukungan pemerintah tentang penanganan radikalisme pada ASN.
Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB), pada tahun 2019 lalu. SKB meliputi berbagai macam pelanggaran seperti mengeluarkan aspirasi yang bersifat mendukung terkait organisasi terlarang, sampai terlibat melalui keikutsertaan terhadap organisasi tersebut.
Dikutip dari KumparanNews, Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Rudiarto Sumarwono, menjelaskan bahwa SKB tersebut berisikan tentang penguatan wawasan kebangsaan ASN dalam upaya penanganan radikalisme.
SKB yang dimaksud disini yaitu SKB yang telah diteken oleh 11 Menteri, yaitu:
Menpan-RB;
Mendagri;
Menkumham;
Menag;
Mendikbud;
Menkominfo;
Kepala BIN;
Kepala BNPT;
Kepala BKN;
Kepala BPIP;
Ketua KASN.
Dengan adanya SKB tersebut diharapkan ASN patuh pada empat pelar negara Indonesia yaitu:
UUD 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Kasus Pencopotan Wadek FPIK UNPAD
Pencopotan Wadek FPIK UNPAD Asep Agus Handaka, menimbulkan pertanyaan. Universitas Padjadjaran memberhentikan Asep selaku Wakil Dekan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).
Pencopotan tersebut di karenakan Asep Agus Handaka merupakan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia. Mantan Wadek tersebut ternyata pernah menjadi Ketua DPD II HTI di Kota Bandung, pada tahun 2014.
Tetapi pada tahun 8 Mei 2017, pemerintah membubarkan HTI dan menjadikannya sebagai sebuah organisasi terlarang di Indonesia.
Namun pencopotan tersebut hanya mengenai jabatan Wadek saja, bukan bersifat pemecatan sebagai dosen di UNPAD. Ini dilakukan UNPAD karena telah menyatakan sikap untuk turut serta dalam menjaga keutuhan NKRI yang berlandaskan Pancasila.
FPI Sebagai Ormas Terlarang
Pemerintah secara resmi telah membubarkan ormas FPI, lembaga Kemenkumham menyatakan ormas tersebut sebagai ormas terlarang, karena bertentangan dengan hukum.
Sejak 21 Juni 2019, FPI sudah bubar lantaran tidak mempuyai Surat Keterangan Terdaftar. Walaupun tidak mempunya SKT, FPI masih melakukan kegiatan yang bertentangan hukum, misalnya melakukan tindakan kekerasan, razia sepihak, dan juga provokasi.
Sanksi Bagi ASN yang Pernah Bergabung dengan FPI dan HTI?
Dikutip dari KumparanNews, Ketua KASN Agus Pramusito mengatakan jika anggota ASN pernah bergabung dengan FPI, maka selama individu tersebut tidak berperilaku yang di luar aturan, maka Pemberian Sanksi Mantan FPI dan HTI tersebut tidak dapat diberikan padanya.
"Jika ASN seseorang yang merupakan mantan anggota atau pernah bergabung menjadi FPI, tetapi belum pernah melakukan pelanggaran, baik bersifat administrasi maupun pidana, dan juga tidak lagi melakukan perilaku yang telah disampaikan dalam SKB pelarangan FPI, maka tidak dapat diberikan hukuman baik itu administrasi atau juga pidana,” ujar Ketua KASN, seperti dikutip dari KumparanNews.
#Pemberian Sanksi Mantan FPI dan HTI#Sanksi mantan fpi dan hti di lingkungan asn#FPI#HTI#Pencopotan wadek UNPAD
1 note
·
View note
Text
Fakta-Fakta tentang HTI
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Beberapa waktu ini saya dibuat bingung oleh kelakuan sebagian orang yang mengaku orang Indonesia namun tidak mencintai sejarah negerinya sendiri dan tidak menghormati perjuangan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari para penjajah. Mereka lebih senang menikmati doktrin asing yang sebenarnya mereka tidak paham seutuhnya juga. Doktrin asing yang saya maksud adalah Hizbut Tahrir atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia ialah “Partai Pembebasan”. Oleh karena kekurangpahaman kita tentang gerakan ini, mari kita bahas penyebarannya di Indonesia tercinta kita.
1. Hizbut Tahrir (HT) pertama kali didirikan pada tahun 1953 di Palestina, 8 tahun lebih muda dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awalnya HT adalah gerakan perlawanan negeri Palestina yang jatuh ke tangan Israel. Pendirinya adalah Taqiuddin al-Nabhani yang berpendapat kekhilafahan Islam ialah solusi bagi kebangkitan umat Islam dari imperialisme. Gagasan HT masuk ke Indonesia pada tahun 1982. Kemudian terbentuklah organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang memproklamasikan diri pada tahun 2000. HTI mengadakan Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Juni 2013. Lalu pada 6 Juni 2013, TVRI menayangkan siaran tunda acara Muktamar HTI di Senayan, Jakarta. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai TVRI sebagai lembaga penyiaran publik telah mengalami disorientasi kebangsaan dengan menayangkan acara tersebut dikarenakan ideologi HTI yang mempermasalahkan ideologi negara, nasionalisme, dan menolak demokrasi. TVRI dipanggil dan terbuka kemungkinan dijatuhkan sanksi. Tetapi anehnya pada 2 Juli 2014, HTI malah terdaftar sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada pemerintahan Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
2. Menurut dokumen rapat yang diperoleh Tempo, ada puluhan aktivis yang dianggap menyimpang oleh pemerintah selama kurun 4 Maret-24 April 2017. Contohnya bedah buku “Menyamakan Visi Persatuan Umat Islam Indonesia” di Masjid Al-Ghufron, Perumahan Margahayu, Bekasi Timur, pada 4 Maret 2017. Rencana pembentukan negara khilafah menguat karena ada bukti naskah Rancangan Undang-Undang Dasar Islami (Ad-Dustur al-Islami) yang tengah digodok HTI. Terdiri atas 186 pasal, rancangan ini menyebutkan Indonesia sudah saatnya menjadi negara Islam dengan sistem khilafah. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk dengan sejarah yang cukup panjang dengan berbagai pertimbangan. Untuk menjelaskan perjuangan pembentukan konstitusi negara Republik Indonesia itu, saya menyarankan untuk kita membaca buku karya Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) yang berjudul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante” yang diterjemahkan pertama kali pada tahun 1985 dari disertasi Buya Syafii dengan judul Islam as the Basic of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa terjadi perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante berlangsung selama November 1956 sampai Juni 1959, tanpa mencapai suatu keputusan. Perdebatan tersebut boleh jadi akan berlangsung tanpa kesudahan jika Presiden Sukarno tidak melakukan intervensi dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Adapun pandangan Bung Hatta tentang Pancasila sebagai berikut: “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip spriritual dan etik yang merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila”. Kemudian perlu dicermati pula pendapat Natsir yang menginginkan terbentukya Negara Islam yang demokratis. Menurut Natsir dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosio-politik, prinsip penting yang harus diikuti dan dihormati adalah prinsip syura (parlemeter). Tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura semuanya tergantung pada ijtihad umat Islam.
3. Ketua GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penolakan terhadap kegiatan HTI di berbagai daerah terjadi karena mereka menawarkan khilafah dan mengesampingkan Pancasila. Bahkan di beberapa kota, GP Ansor terpaksa membubarkan kegiatan HTI karena terang-terangan menolak Pancasila. Tak Cuma menawarkan khilafah, HTI di beberapa daerah juga aktif mengkampanyekan isu kebangkitan komunis di Indonesia. Pada 1 April lalu, 35 Anggota HTI Bangkalan, Madura, menggelar parade di Stadion Karapan Sapi. Mereka menyerukan umat Islam wajib menumpas segala yang hendak membangkitkan paham komunisme di Indonesia. Di saat yang sama, HTI Banyuwangi berdemo menyerukan hal serupa. Isu bahaya komunisme ini juga dipakai HTI untuk menyerang PDI Perjuangan. Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada acara Forum Kerukunan Umat Beragama, HTI menyebut PDIP memiliki kedekatan dengan komunis. Seperti yang pernah saya jelaskan dalam tulisan saya yang lain, sebagian masyarakat Indonesia tidak mengerti arti komunisme dalam arti yang sebenarnya. Mereka hanya menerima doktrin yang diberikan pemerintahan Soeharto selama 32 tahun lamanya. Dan perlu juga diingat bahwa generasi milenial saat ini berusia sangat muda yang belum dilahirkan pada saat peristiwa G30S/PKI terjadi. Bahkan sebagian besar generasi milenial yang sudah tumbuh besar pada saat peristiwa runtuhnya Orde Baru, tidak juga benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga isu komunisme ini sangat mudah sekali menyebar dan melekat dipikiran sebagian masyarakat kita.
4. Penyebar ide Hizbut Tahrir (HT) pertama di Indonesia adalah Abdurrahman al-Baghdadi yang merupakan anggota dari Hitbut Tahrir Australia. Abdurrahman sudah akrab dengan pemikiran HT sejak berumur 15 tahun. Keluarganya adalah anggota Hizbut Tahrir di Lebanon. Mereka pindah ke Australia dan menjadi warga negara negara tersebut. Abdurrahman al-Baghdadi datang ke Indonesia pada tahun 1982. Ia datang ke Bogor, Jawa Barat, bersama ayah Muhammad Mustofa, Abdullah bin Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghazali yang juga dosen Universitas Indonesia. Di bogor, Abdurrahman tinggal di Pesantren Al-Ghazali dan diangkat anak oleh Abdullah. Selain mengajar di pesantren, Abdurrahman berkenalan dengan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sedang melakukan kajian keislaman di Masjid Al-Ghifari di kampus IPB. Di sinilah Abdurrahman menularkan pemikiran HT kepada mereka. Bersama Mustofa, Abdurrahman kemudian menyemai gagasan HT. Mustofa menjadi menyambung lidah Abdurrahman yang belum menguasai bahas Indonesia. Ia menerjemahkan setiap kata yang diucapkapkan saudara barunya itu terkadang dengan padanan yang lebih lunak. Meskipun ikut menaburkan gagasan HT, Mustofa menolak bergabung, terutama setelah mereka meproklamasikan diri sebagai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2000. Mustofa tidak setuju dengan keinginan HTI untuk mendirikan kekhilafahan Islam. Ayah Mustofa, Abdullah, juga tidak pernah bergabung dengan HT. Penolakan tersebut tak memutuskan hubungan Mustofa dan Abdurrahman al-Baghdadi. Agresifnya murid-murid Abdurrahman mengkudeta gurunya sendiri. Abdurrahman terlempar dari HTI. “Dia ditendang dari HT oleh murid-muridnya yang sekarang menjadi petinggi HTI,” kata Mustofa, yang kini menjadi pengasuh Pesantren Al-Ghazali sekaligus pengurus Nahdlatul Ulama (NU) di Bogor. Menurut Mustofa, Abdurrahman kini tinggal di Bogor dan sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Abdurrahman al-Baghdadi masih berdakwah tapi tidak lagi menuntut pendirian khilafah.
5. “Kami baru saja membahas rencana pembubaran HTI oleh pemerintah,” kata Riki Nasrullah, Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa Bidang Intelektual HTI Kampus Jatinangor. Menurutnya, mereka mediskusikan artikel dalam buletin HTI empat halaman, Al-Islam, dengan judul “Khilafah Negara Islam, Mengapa Dikriminalkan?”. Menurut Riki, di Bandung, konsentrasi kader HTI tidak hanya di Universitas Padjadjaran. Anggotanya juga ada di Institut Teknologi Bandung dan Institut Koperasi Indonesia. Dia menyebutkan ada sekitar 60 mahasiswa yang aktif di wilayah Jatinangor. “Simpatisan lebih banyak, kami tidak mendata,” ucapnya. Universitas menjadi basis utama kaderisasi HTI. “Kampus sangat potensial untuk dakwah,” kata Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa HTI Kota Bandung, Andika Permadi Putra. Lulusan Jurusan Teknik Geodesi ITB itu menuturkan kader mereka tersebar di 51 kampus di Kota Bandung. Seorang mahasiswi IPB anggota BKIM menuturkan promosi Khilafah Islamiyah oleh HTI sangat terukur. “Senior akan memantau kami bagaimana melakukan itu,” kata perempuan yang minta namanya tidak disebutkan ini. Ia punya kewajiban menyebarkan 20-25 lembar Al-Islam per pekan. Kader HTI juga harus masuk ke organisasi internal kampus. Di Universitas Padjadjaran, HTI terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan pernah tiga kali mengikuti pemilihan Presiden BEM.
6. Gerakan HT telah dilarang dibeberapa negara di dunia, bahkan penolakan tersebut datang tidak hanya dari negara sekuler yang demokratis namun juga di negara-negara yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif. Negara-negara yang menolak HT antara lain, Malaysia, Arab Saudi, Turki, Yordania, Mesir, Tunisia, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, Rusia, Belanda, dan Jerman. Adapun di beberapa negara lain yang juga melarang berkembangnya HT yang diperoleh dari sumber lain, yaitu Bangladesh melarang pada 22 Oktober 2009, karena mengancam kehidupan damai negeri itu. Kazakhstan melarang pada tahun 2005. Kirgistan melarang pada tahun 2004. Di Denmark, kegiatannya menolak lembaga-lembaga demokratis membuatnya beberapa kali bermasalah dengan hukum. Di Perancis dan Spanyol pada 2008 HT dianggap organisasi ilegal. Perdana Menteri Negara Bagian New South Wales, Australia berusaha melarang HT, namun dihalangi oleh Jaksa Agung atas nama demokrasi. Menurut pengalaman pribadi penulis, HTI adalah gerakan yang benar-benar anti-demokrasi tapi seringkali memanfaatkan sarana yang diberikan negara demokrasi untuk menyebarkan ajarannya. Contoh pengalaman aneh tersebut saya dapatkan dari media sosial Instagram. Pada akun HTI yaitu @indonesiabertauhid, saya menanyakan beberapa hal untuk mengukur wawasan apa saja yang telah mereka terima. Pertanyaan tersebut antara lain mengenai yang disebut dengan negara agama, politik Islam, khilafah, dan sumber hukum Islam. Dari beberapa pertanyaan tersebut, didapat kesimpulan bahwa sebenarnya para simpatisan HTI ini tidak memiliki wawasan yang cukup sehingga mudah sekali dimasuki doktrin asing HT yang tidak cocok diterapkan di Indonesia berdasarkan latar belakang sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasilnya, mungkin dikarenakan admin akun tersebut merasa resah dengan pertanyaan-pertanyaan penulis, akun Instagram penulis di-block sehingga saya tidak bisa mengakses akun penyebar gerakan HTI tersebut lagi. Salah satu hal yang bisa diambil pelajaran dari perdebatan itu adalah kegagalpahaman beberapa simpatisan khilafah yang menganggap negara Islam yang diusung HTI ini mirip dengan yang telah diterapkan Arab Saudi, Malaysia, ataupun Turki yang faktanya jelas bahwa negara-negara tersebut menolak gerakan tersebut.
7. Pemerintah sedang memproses pembubaran HTI secara hukum karena organisasi itu dianggap meresahkan dan ideologinya bertentangan dengan Pancasila. HTI menolak adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dinilai tidak sejalan dengan negara Islam berbentuk khilafah yang dikampanyekan HTI. Mereka menolak dianggap bertentangan dengan Pancasila dikarenakan HTI bernaung di bawah Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2 Juli 2014 saat Pemerintahan SBY. HTI tidak setuju dengan adanya demokrasi karena menolak gagasan bahwa rakyat harus berpatisipasi dalam membuat hukum dan peraturan, sedangkan bagi HT, manusia itu hanya pelaksana hukum dan peraturan. Pembuatnya adalah Allah melalui Al-Quran dan Hadits. Tetapi HT tidak menolak kebebasan berekpresi yang diberikan oleh demokrasi, karena menurut mereka kebebasan berdakwah adalah hak. Ismail Yusnanto mulai berhati-hati ketika menjelaskan struktur organisasi HTI. “Di HTI, semua ketua, saya juga ketua,” ujar lulusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1988 itu di markas HTI di perkantoran Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan. Untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah khilafah, saya menyarankan untuk membaca buku The Fall of The Khilafah karya Eugene Rogan. Kemudian untuk menambah wawasan dunia keislaman buku Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban karya Fazlur Rahman layak dicermati. Satu buku lagi yang sangat saya sarankan berjudul Jihad, Khilafah dan Terorisme dari Maarif Institute yang bekerjasama dengan Mizan sebagai penerbit.
Saya menilai gagasan yang digadangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini sangat absurd. Hal yang paling mencolok ketika dengan tegas mereka menolak demokrasi tetapi tidak menolak kebebasan berekspresi dan bermusyawarah. Kemudian mereka merancang undang-undang hanya berdasarkan Al-Quran dan Hadits sedangkan di sana tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara membangun suatu sistem kenegaraan. Sudah pasti rancangan undang-undang yang dibuat oleh HTI menggunakan cara-cara ijtihad. Lantas apa perbedaannya dengan UUD 1945 yang dirancang dengan cara bermusyawarah dan Pancasila yang telah disepakati oleh para tokoh nasionalis dan ulama terdahulu? Apakah doktrin asing Hizbut Tahrir (HT) lebih cocok jika diterapkan di dalam negeri? Tidakkah konsep khilafah HTI itu sendiri memiliki kemiripan dengan demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Bung Karno? Bukankah kemerdekaan Republik Indonesia diraih dengan perjuangan para pahlawan nasional tanpa dibantu oleh gerakan HT?
Sesungguhnya mayoritas rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia menginginkan perdamaian. Bukannya malah berpecah belah hanya karena memaksakan kehendak pribadi atau golongan tertentu. Saya teringat cerita seorang teman setelah melakukan pendakian gunung di Maluku. Ia adalah seorang yang berpikir bebas namun tetap taat menjalankan perintah agama. Ia sempat merasakan keresahan ketika ada salah seorang rekan yang menyebutnya kafir hanya karena ia mengikuti kuliah umum tentang filsafat ketuhanan meskipun ia masih menjalankan rukun Islam, berbuat baik terhadap sesama manusia, berusaha menjaga alam dari kerusakan, dan tetap percaya bahwa agamanya yang terbaik. Lalu ia berkata kepada saya, “kok bisa ya ada orang yang menghina, terus marah-marah, sampe mengkafirkan seseorang? Padahal yang gua rasain setelah solat itu tenang dan damai banget.”
Sumber: Majalah Tempo edisi 15-21 Mei 2017
Sumber Lain: Instagram @ikhwanbogor @ikhwantuban @ikhwanrembang @aswajagram @nutizen @lensamu @muhammadiyah_id @indonesiabertauhid
Diskusi-Diskusi Penting:
HTI, Gagal Paham Khilafah
Bagian 1: https://youtu.be/_Bw7Pw0DYKw
Bagian 2: https://youtu.be/abAxwDtQtDg
Bedah Buku Kontroversi Khilafah
Bagian 1: https://youtu.be/OS7c2xHnljI
Bagian 2: https://youtu.be/TyAKlKvMMbw
Bagian 3: https://youtu.be/SVq4KGN6GvQ
Mata Najwa: Menangkal yang Radikal
Bagian 1: https://youtu.be/TE1KIH2Zy3E
Bagian 2: https://youtu.be/fETulaPyVXM
Bagian 3: https://youtu.be/wALNjS204Wc
Bagian 4: https://youtu.be/aiDTkGIR4Ac
Bagian 5: https://youtu.be/FxmJ5elmVCs
Bagian 6: https://youtu.be/LSTJ4w49dZg
Bagian 7: https://youtu.be/WlllB_WGDcc
ILC: ISIS Sudah di Kampung Melayu
Bagian 1: https://youtu.be/zMceiI9ywoQ
Bagian 2: https://youtu.be/BQol7RcS23w
Bagian 3: https://youtu.be/mZ-72GyE21w
Bagian 4: https://youtu.be/Hwv0k0ooerw
Bagian 5: https://youtu.be/H8Py7O-7u8A
Bagian 6: https://youtu.be/kBrB7uVHTjQ
Bagian 7: https://youtu.be/mD-W24S1fsQ
Aiman: Mendadak Khilafah!
Bagian 1: https://youtu.be/Yz2U-g_bhGk
Bagian 2: https://youtu.be/DUBahXaemyg
Bagian 3: https://youtu.be/nSeMVneYgyY
Bagian 4: https://youtu.be/OMZAie8_xYk
Bagian 5: https://youtu.be/DACECeQ125U
#HTI HizbutTahrir haram kafir negara Indonesia Pancasila#Hizbut Tahrir#haram#kafir#negara#demokrasi#Pancasila#Indonesia#HTI
2 notes
·
View notes
Link
Walking through Indonesian college campuses today, it’s easy to spot the young women clad head-to-toe in black amongst the sea of students wearing jeans and brightly colored batik. These women in black, along with many of their male classmates, have recently “hijrahed.” In Arabic, the word hijrah literally means, “to migrate or emigrate,” and is traditionally used to describe the Prophet Muhammad’s migration from Mecca to Medina. In Indonesia, the term has come to encompass a variety of movements and ideologies in which nominal Muslims are “born again,” and begin to seriously study religion. The movements are typically composed of young people who have little-to-no prior religious background and seek to become religious experts immediately, often switching out their modern clothes for long, dark, loose clothing for women, and ankle length pants and a beard for men, within the span of just a few months.
The biggest hijrah movements found on campuses in Indonesia are Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Tarbiyah, and Salafism.
HTI is the Indonesian branch of the global Hizbut Tahrir organization, which was banned by the Indonesian government in 2017 because its goal to form an Islamic Caliphate was deemed to be against the pluralist state ideology, Pancasila, which lists democracy as a founding principle of the Republic of Indonesia. HTI and its branches in other countries are not affiliated with the Islamic State (IS), and HTI members disagree with IS’s use of violence to achieve its goals.
The Tarbiyah movement is affiliated with the Islamist political party PKS and is inspired by Muslim Brotherhood ideology.
Salafism is a movement/ideology whose most prevalent faction is characterized by nonviolent Islamic puritanism (other types of Salafism include political and jihadi, but these appear in much smaller numbers). Its adherents typically eschew television, music, and interaction between the sexes.
1 note
·
View note
Text
Kasasi HTI Ditolak MA, Begini Tanggapan Jubir HTI Ismail Yusanto
New Post has been published on http://gampangqq.link/kasasi-hti-ditolak-ma-begini-tanggapan-jubir-hti-ismail-yusanto/
Kasasi HTI Ditolak MA, Begini Tanggapan Jubir HTI Ismail Yusanto
Kasasi HTI – Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) Ismail Yusanto menyatakan tidak kaget dengan putusan Mahkamah Agung yang menampik kasasi yang dikemukakan HTI.
Ia menyatakan sudah menebak putusan yang menguatkan pembubaran HTI ini.
“Pertama, kami merasa tidak kaget dengan putusan itu. Di tengah keadaan dan kebiasaan hukum yang diskriminatif dan politis laksana ini, putusan tersebut sangat barangkali terjadi,” kata Ismail, Sabtu (16/2/2019).
Berdasarkan keterangan dari Ismail, pihaknya bakal mengonsultasikan putusan ini untuk kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Pihaknya membuka bisa jadi untuk mengemukakan peninjauan pulang (PK).
“PK masih dapat diajukan bila ada novum baru,” kata Ismail.
Ismail optimistis Yusril bakal tetap bekerja profesional sebagai kuasa hukum pihak HTI. Meski ketika ini Yusril pun sudah menjadi kuasa hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, menurut keterangan dari dia, urusan tersebut tak menjadi masalah.
“Pak Yusril tentu profesional,” kata dia.
Ditolak MA
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung menampik kasasi yang dikemukakan HTI berhubungan putusan pemerintah yang menarik keluar badan kedudukan badan hukum HTI.
Dengan demikian, Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 mengenai Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku.
“Tolak kasasi,” demikian amar putusan yang diunggah di website MA, Jumat (15/2/2019).
Majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut, yaitu Sudaryono, Hary Djatmiko, dan Supandi. Putusan dijatuhkan pada 14 Februari 2019.
Pada 7 Mei 2018, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menampik gugatan yang dikemukakan pihak HTI terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Majelis Hakim PTUN Jakarta menilai, ormas HTI terbukti hendak mendirikan negara khilafah di distrik Negara Kesatuan Republik Indonesia.
HTI hendak mendirikan negara Khilafah Islamiyah di NKRI tanpa ikut pemilu dan urusan itu sudah dalam format aksi dan tidak saja konsep atau pemikiran.
Bukti ini dijadikan di antara pertimbangan majelis hakim untuk menampik gugatan yang dikemukakan HTI berhubungan pembubaran ormas.
Berdasarkan keterangan dari Majelis hakim, perjuangan menegakkan khilafah tanpa adanya demokrasi dan pemilu ialah hal yang berlawanan dengan Pancasila. Aksi dan pemikiran tersebut sudah tidak dalam konsep nasionalisme.
Oleh sebab itu, Majelis Hakim menilai, HTI sudah melanggar peraturan dalam Undang-Undang mengenai Ormas.
Sesuai UU itu, Menteri Hukum dan HAM juga berhak menarik keluar status badan hukum HTI melewati Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.
#Hizbut Tahrir Indonesia#hukum#islam#Joko Widodo#kasasi#khilafah#Mahkamah Agung#organisasi terlarang#yusril ihza mahendra
0 notes
Photo
Akan Ada Aksi Bela Tauhid, Muslim Surabaya Diharap Tak Terprovokasi
MALANGTODAY.NET - Polisi telah mengantongi surat pemberitahuan terkait Aksi Bela Tauhid yang akan digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur siang ini. Namun polisi mengimbau sebaiknya masyarakat Muslim Surabaya tidak terprovokasi dengan hal ini. Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan sebelumnya telah mengumpulkan sejumlah pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Jatim. Dalam kesempatan tersebut, kapolda mengimbau masyarakat sebaiknya tidak turun ke jalan. BACA JUGA: Bukan Puti Guntur Soekarno, Ternyata Ini Kandidat Kuat Pengganti Risma "Pemberitahuan itu ada, tapi kan kemarin sudah dikumpulkan oleh bapak kapolda untuk tidak usah terprovokasi dengan keadaan, tidak usah turun ke jalan," ujar Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera dilansir laman detik, Jumat (26/10/2018). Aksi Bela Tauhid ini terjadi karena beberapa ormas merasa tidak terima terkait pembakaran bendera berlafal Tauhid mirip bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang terjadi dalam Apel Hari Santri Nasional (HSN) di Garut pada Senin (22/10/2018). Barung menambahkan sebaiknya umat muslim tidak perlu turun ke jalan. Menurutnya, bendera yang dibakar tersebut yakni bendera HTI. "Yang dimaksudkan bahwa kita masyarakat muslim jangan sampai terprovokasi, memang ada keinginan jika masyarakat turun ke jalan karena bendera Tauhid padahal bukan, itu bendera HTI," tegas Barung. Tak hanya itu, banyaknya masyarakat yang turun ke jalan, justru akan menyenangkan pihak HTI. Apalagi, jelas dia, pemerintah telah melarang HTI di Indonesia. "Orang-orang HTI malah menginginkan itu, HTI sendiri kan sudah dilarang pemerintah," lanjut Barung. BACA JUGA: 5 Kisah Horor Legendaris Kampus ITB Bandung, Bayanginnya Aja Ogah! Sebelumnya, ramai tersebar pesan melalui whatsapp terkait Aksi Bela Tauhid. Dalam pesan tersebut, aksi ini akan digelar hari ini pukul 13.00 WIB - 15.00 WIB dengan titik kumpul di Masjid Al-Akbar Surabaya dan akan long march hingga ke Mapolda Jatim. Dalam keterangannya, Aksi tersebut akan dihadiri beberapa ormas seperti FPI Jatim, Muhammadiyah, Relawan Keadilan, Front Pemuda Islam, Hidayatullah, Laskar Jundullah, Ikamra hingga Jawara.
Penulis: Ilham Musyafa Editor: Ilham Musyafa
Source : https://malangtoday.net/flash/surabaya/aksi-bela-tauhid-surabaya/
MalangTODAY
0 notes
Text
ITS Klarifikasi Soal Alumni Terduga Teroris dan Pemecatan Dosen
ITS Klarifikasi Soal Alumni Terduga Teroris dan Pemecatan Dosen
Sasklik.com – Pihak Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) membantah telah memecat 3 dosennya terkait dugaan keterlibatan mereka dengan partai terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ITS juga menampik dugaan keterlibatan alumninya atas tindakan terorisme di Surabaya
Bantahan itu disampaikan pimpinan ITS pada konferensi pers di Gedung Rektorat ITS, Selasa (15/5/2018) sore. Rektor ITS Prof Ir…
View On WordPress
#bom bunuh diri#Bom gereja#Bom Surabaya#dosen ITS#Hizbut Tahrir Indonesia#HTI#Institut Teknologi 10 November Surabaya#ITS#Pecat dosen HTI#terorisme
0 notes
Text
Manivesto Anti Terorisme dan Radikalisme
Oleh: Muhammad Rouf*
Wahai orang Indonesia yang mengaku beragama Islam! Kita tahu bersama, bahwa beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi kasus terorisme di tanah air kita tercinta, Indonesia. Sebut saja beberapa kasus terorisme besar di Indonesia, diantaranya adalah: bom bali 1 tahun 2002, bom hotel JW Marriot tahun 2003, bom kedubes Australia tahun 2004, bom bali 2 tahun 2005, bom hotel JW…
View On WordPress
0 notes
Text
Fahri Hamzah: Rezim Jokowi Perlakukan HTI Seperti PKI
Fahri Hamzah: Rezim Jokowi Perlakukan HTI Seperti PKI
Beritauntukanda – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi masyarakat berpotensi memicu tindakan persekusi, khususnya pada anggota Hizbut Tahrir Indonesia. Tindakan persekusi yang mungkin muncul menurut Fahri, mirip dengan yang pernah dilakukan rezim otoriter Orde Baru terhadap kader…
View On WordPress
0 notes
Text
Akhir Perjalanan HTI
Bubarkan Hizbut Tahrir ??? | Just Write, and Live Forever Just Write, and Live Forever - WordPress.com1152 × 864Search by image arroyah Setelah sempat berlarut dalam perdebatan panjang, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Senin (8/5). Warta BBC menyebutkan bahwa terdapat tiga alasan dibubarkannya HTI. Tiga alasan tersebut disampaikan oleh Menko Polhukam, Wiranto. "Pertama, HTI tidak mengambil peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional," lanjut Wiranto. Alasan kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Wiranto menyebutkan bahwa aktivitas yang dilakukan HTI telah menimbulkan benturan di masyarakat. Hal itu dapat berlanjut mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan Indonesia. Maka, "Setelah melakukan pengkajian yang seksama, dan pertimbangan mendalam, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di seluruh Indonesia," kata Wiranto dalam jumpa pers di kantor Kementrian koordinator politik hukum dan keamanan. Sebelum keputusan pemerintah ini dibuat, telah terjadi penolakan masif terhadap keberadaan HTI di Indonesia. Salah satunya adalah pengiriman karangan-karangan bunga di beberapa markas kepolisian. Tanggal 5 Mei lalu, puluhan warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Cinta Damai, Cinta Toleransi dan NKRI, menggelar aksi mengirim karangan bunga ke kantor Polda NTT dan kantor Gubernur NTT. Pengiriman karangan bunga tersebut dalam rangka menolak paham radikalisme. Aliansi Masyarakat Cinta Damai, Cinta Toleransi dan NKRI menuntut supaya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Selain itu, ratusan karangan bunga sempat memenuhi pekarangan Mapolda Sumsel, Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Selasa (2/5/2017). Karangan bunga tersebut dikirim dalam rangka dukungan terhadap TNI dan Polri dalam memberantas tindak radikalisme dan premanisme di Bumi Sriwijaya. Dalam konferensi pers yang dihadiri Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Yasonna Laoly ini, Wiranto menegaskan bahwa pemerintah tak anti umat Islam. "Namun semata-mata dalam menjaga dan merawat keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," tegas Wiranto. *** Click to Post
#for#hijab#HizbutTahrir#Indonesia#IndonesiaMilikAllah#Islam#Khilafah#MTU1437H#Pakistan#RapatdanPawaiAkbar#world#Hizbut Tahrir Indonesia#HTI#HTI dibubarkan#Kapolri Jenderal Tito Karnavian#Laoly#Mendagri Tjahjo Kumolo#Menkumham#Wiranto#Yasonna
0 notes
Video
Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,Suasana Kantor HTI Pasca Dibubarkan masih tetap normal. Sejumlah petugas juga masih melakukan kegiatannya. Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan melanjuti Perppu no.2 2017 pembubaran ormas anti pancasila Suasana, kantor, hti, pasca, dibubarkan, hizbut tahrir indonesia, bubar, pembubaran, pembubaran hti, hti bubar, hti dibubarkan, perppu ormas, ormas, ormas anti pancasila, ormas radikal, agama, islam, jokowi, presiden jokowi, joko widodo, pemerintah, pancasila, berita, terbaru, hari ini, berita terbaru, berita terbaru hari ini, berita politik, politik, video, viral, news, politics, metro tv, nopirrr,
#hti#kantor hti#hti bubar#hti adalah#hizbut tahrir indonesia#khilafah#hti dibubarkan#pembubaran hti#perppu ormas#ormas#ormas anti pancasila
0 notes